William Shakespeare pernah bersabda: "What's in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet." (Apalah arti sebuah nama? Andaikata kamu memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia tetap akan berbau wangi). Mungkin dalam alam pikir shakespeare nama hanya sebuah kata biasa tanpa makna, yang terpenting adalah siapa yang ada di balik nama itu, tak mengubah apapun meskipun namanya diganti.
Sangat berbeda dengan sekali dengan sang prophet terakhir yang menyamaratakan nama dengan doa. Yang mana, ketika sebuah nama disebut berarti ia mendoakan sang pemilik nama. Sungguh sebuah kemulian yang terletak hanya pada sebuah nama. Itulah mengapa sang prophet terakhir mengharuskan untuk memberi nama yang baik pada setiap anak yang terlahir.
Nama memang agaknya begitu penting, bukan hanya penting namun juga genting. Begitu pentingnya sebuah nama, apabila menemukan sesuatu pastilah yang ditanyakan terlebih dahulu adalah namanya, tentu saja, karena Nama mewakili identitas, memawakili pemiliknya dengan sebuah kata. Bisa menjadi Genting karena jika salah satu huruf saja maka bisa salah seluruhnya.
Dari sebuah nama kita jadi mengenal, jadi tahu, jadi mengerti, jadi mudah, meski tak tahu segalanya itu lebih dari cukup dari pada tak mengenalnya sama sekali.
Memberi nama pun tidak boleh asal, tidak boleh sesukanya sendiri. Nama itu akan di bawa kemana-mana sampai pemiliknya mati, tak hanya itu, ketika matipun nama masih di perlukan untuk mengenang.
Saya teringat kawan saya pernah bercerita. Pada suatu hari ia akan mencairkan uang di sebuah bank. Ketika namanya di sebut ia berdiri dan berjalan menuju ke pelayan. Saat ia sudah berada di depan meja, sang pelayan bertanya apakah ia mewakili orang tuanya, kawan saya mengatakan tidak. Pelayan tidak percaya dan meminta mengeluarkan kartu identitasnya. Dan benar saja sesuai dengan foto yang tercetak di kartu.
Kawan saya saat hanya bisa diam saja, lantaran memang namanya tidak sesuai zaman, nama kuno, nama yang digunakan oleh orang-orang tua terdahulu, namun apa mau dikata, ia sudah menyandang nama itu sejak lahir dan akan dibawanya sampai mati.
Lalu kawan saya menasehatiku, jika suatu waktu punya anak, berilah nama yang bagus, nama yang mudah untuk dilafalkan, nama yang tak lekang oleh zaman. Karena bisa saja, anak akan menahan malu dan menjadi minder hanya karena sebuah nama.
Nama pun juga Harus relevan, kan tidak lucu, orang berambut gondrong di sebut si gundul, atau sebaliknya.
Begitu pula yang awalnya gundul kemudian menjadi gondrong.
Saya sendiri pun pernah mempunyai beberapa nama julukan bahkan terdengar sebagai olokan seperti Gentong karena tubuhku kecil cenderung bulat, Pithong karena mataku tergolong sipit hingga seperti mata bayi yang tertidur, Gigi karena susunan gigiku tidak beraturan dan sederet nama lainya yang kadang membuatku menarik kedalam diri dan melihat betapa kecil diri ini. Tapi aku tidak membalasnya, aku sebut nama mereka sesuai dengan nama mereka, bukan julukan, bukan olokan, karena aku tahu betapa sakitnya ketika disakiti, jika aku melakukannya ap bedanya aku dan mereka.
Tapi itulah uniknya manusia terkhusus yang ada di Indonesia, kadang mengganti nama orang, atau menambahi nama orang, menjuluki sekehendak hati tanpa peduli suka atau tidak. Yang terakhir saya mendengar cerita kalau ada masyarakat di sebuah desa yang kaget mendengar nama asli seseorang, karena selama ini yang semua orang tahu nama julukannya.
Pun, sebagai orang jawa yang sejak zaman kolonial di cegah, dihalangidan dilarang untuk pintar, sudah lumrah memberi nama tanpa nama keluarga, tidak seperti di Eropa, di China, di Arab, di Jepang, tidak seperti pula di Batak. Semuanya mempunyai nama keluarga yang terletak di depan maupun di belakang nama, yang mana ini akan memudahkan untuk mengenali darimana ia berasal.
Saya bahkan pernah membaca primbon, kalau orang Jawa jika nama harus di sesuaikan dengan strata dan status sosial. Yang paling kuingat seperti nama bejo, jaya, waluyo, eko, parno semuanya terdiri hanya dari satu kata saja tanpa nama keluarga. Sangat sederhana, dan pasaran tentunya. Itu yang menyebabkan orang terdahulu mempunyai nama yang sama, lagi-lagi untuk membedakannya harus di tambahi nama julukan, karena memang tak punya nama keluarga.
Yang tragis ada yang memberi nama dengan nama hewan, semisal gudel yang artinya anak kebo, singo, gendon. Padahal di Eropa juga cukup banya seperti leoni, hawk, bull. mungkin karena mental inlander itulah yang membuat seperti lebih rendah. Dan menganggap nama Eropa lebih bagus, lebih wah, lebih keren. Sama halnya dalam cerpen Ngilmu bejo, di ceritakan Bejo ingin menggantu namanya menjadi Alex atau Robert agar terdengar renyah di telinga.
Orang Jawa, Jawa tulen sulit sekali melafalkan nama yang ke bara-baratan, keArab araban, ke China-chinaan, ke Jepang-jepangan dan sederet nama asing lain. Dan sering di ganti dengan nama lain yang pelafalannya terdengar sama padahal sudah jelas berbeda.
Masyarakat jawa juga mengenal istilah kabotan jeneng atau kebertan nama. Biasanya ini diyandai dengan sering sakit-sakitanya sang pemilik nama karena nama yang di sandangnya tidak sesuai, sekalipun itu nama yang bagus syarat makna.
Maka akan langsung diganti dengan nama yang sederhana yang akan di seusikan dengan sang pemilik nama. Yang sering di pakai biasanya surip, untung, bejo, sugeng, slamet mengandung arti sederhana dan kebeuntungan.
Mungkin akan perlu satu bab khusus jika membahas tentang sebuah nama. Karena dibalik nama pasti ada sebuah cerita, sebuah takdir yang khusus terjadi padanya. Boleh mempunyai nama yang sama, tapi soal takdir pasti berbeda.
#usmansan99
#honja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar