Rabu, 12 Oktober 2022

tragedi kanjuruhan, siapa menyalahkan siapa?

Saya turut berbelasungkawa atas gugurnya Aremania dan anggota Polisi yang telah menjadi korban tragedi di stadion kanjuruhan pasca pertandingan antara Arema fc contra Persebaya.




Tapi tanpa mengurangi rasa hormat dan duka, saya yang sebagai penikmat sepak bola, dan  bukan pengamat sepakbola hendak bertanya, tragedi kanjurunan ini, siapa yang pantas disalahkan?



Apakah aremania yang turun dan hendak menyerbu pemain?



Anggota kepolisian yang bersikap represif dan menembakkan gas air mata?



PSSI dan LIB selaku penyelenggara liga?



Broadcaster yang terkesan hanya mencari keuntungan dan tidak peduli dengan jadwal pertandingan?


 


Atau  kita sendiri yang selalu dan selalu berjalan dilingkaran yang sama hingga lupa semua kejadian ini sebenarnya puncak dari segala keruwetan yang terjadi selama ini.


Tentu, akan terlalu naif apabila kita menyalahkan salah satu pihak tanpa melihat akar masalah yang sebenarnya.



Kita semua tahu, bahwa fans persepakbolaan Indonesia banyak yang belum dewasa sepenuhnya, belum dewasa menyikapi kemenangan dan kekalahan, belum dewasa kalau sepakbola ini adalah pesta yang menyatukan, bukan perang yang harus dimenangkan dengan menggugurkan nyawa.



sampai disinipun kita seharusnya sadar mengenai apa yang terjadi. Bukan menyalahkan atau mengkambing hitamkan salah satu pihak demi keuntungan pribadi.


Masih beruntung pendukung persebaya tidak hadir di karenakan  adanya sangsi, kalau tidak, mungkin kerusuhan bisa bertambah besar, dan jumlah korban akan lebih banyak. Bayangkan jika anda sebagai polisi yang bertugas sebagai penjaga keamanan, mengamankan diri sendiri saja akan susah apalagi mengamankan ribuan orang dengan ribuan pemikiran.



Lalu, siapa yang dirugikan,


Apakah Aremania yang menjadi korban dan bersiap akan adanya pelarangan hadir dalam setiap pertandingan? Stau klub Arema FC yang akan mendapat sangsi dan denda?



Apakah anggota kepolisian yang di copot dengan paksa karena dianggap represif yang menyebabkan korban jiwa?



 Apakah PSSI yang akan mendapat sangsi dari FIFA 


Atau broadcaster yang harus menanggung rugi karena tiadanya siaran?


Ataukah para pedagangang yang menadapat pemasukan karena di gelarnya pertandingan?


Semuanya rugi, ibarat nila setitik rusak susu sebelanga, ibarat satu gigitan semuat hancur seluruh koloni. Yang jelas kini mata dunia sedang menyorot ke Indonesia, bukan karena prestasinya tapi karena merosotnya kemanusiannya.



Itulahlah mengapa kita harus sadar diri, dan berpikir sewaras mungkin sebelum bertindak. Karena sebuah tindakan bukan hanya merugikan diri sendiri namun seluruh bangsa ini, membuat malu saja.



Saya akan akan sangat setuju apabila jika ada pemberhentian pertandidangan jika adanya pelemparan benda yang masuk kedalam lapangan.


Saya juga akan sangat setuju kalau ada pembuat onar atau provokator dihukum berat dan di sangsi tidak boleh menonton keseluruh pertandingan selama seumur hidup, bila perlu pajang fotonya, di setiap stadion agar siapapun tahu kalau tidak tempat untuk perusuh.


Saya akan setuju apabila klub sepakbola di jatuhi degradasi langsung ke kasta di bawahnya jika tidak bisa membuat fansnya untuk dewasa, karena klub ibarat Tuhan untuk umantnya, dan umat tidak akan ada jika tidak ada Tuhannya.


Dengan adanya sangsi berat, seharusnya kita berpikir berulang kali untuk melakukan hal bodoh yang merugikan.


Saya pernah membaca sebuah riset yang menyatakan bahwa, moral suatu bangsa bisa dilihat dari persepakbolaan di bangsa, apakah ini berarti moral kita seperti demikian?, tentu kita sendiri yang bisa menjawabnya.



Lalu apa yang harus dilakukan untuk kedepannya, tentu saja ketegasan dan kejelasan dalam penindakan hukum adalah kunci keadilan, bukan hanya dalam dalam dunia sepakbola tapi seluruh aspek kehidupan.


Lalu apakah kita akan terus begini? silahkan tanyakan itu pada diri kita sendiri.



#usmansan99
#honja

Tidak ada komentar: