Rabu, 09 November 2022

Golek badokan

 Kawanku pernah berkisah, pada suatu hari di kamis malam atau malam jum'at, ia mengikuti sebuah acara keagamaan yang digelar rutin, yaitu pembacaan salah satu surah yang terkandung dalam Al-Quran.


Seperti biasa, ketika acara usai, kawanku, dan beberapa pemuda mengeluarkan hidangan yang di sediakan tuan rumah untuk para hadirin yang datang. Namanya juga anak muda pastilah suka bercanda. Sebab itulah hidangan lebih lambat keluar.


Ketika para pemuda selesai mengeluarkan seluruh hidangan, tita-tiba seoraang tetua, anggap saja begitu, dengan entengnya berkata "bocah mong badokane thok" seketika itu kawanku dan para pemuda lainnya tidak jadi mengambil hidangan dan perlahan memutuskan keluar.


Kawanku berkisah lagi, betapa sakit hatinya mendengar perkataan tersebut, "bolehlah kita miskin, tapi pantang untuk dihina" sejak saat itu, kawanku dan kawannya berhenti mengikuti acara keagamaan yang di gelar rutin setiap malam jumat.


Kawanku terlanjur kecewa dan sakit hati, entah mengapa perkataan itu selalu berputar-putar dalam rongga pikirannya.


Ketika aku mendengar kisah itu, aku seolah dihadapkan pada sebuah pemikiran yang ganjil dalam otakku, kenapa harus marah?, kenapa harus kecewa?, kenapa harus sakit hati?. mungkin memang menyakitkan mendengar perkataan seperti itu, terlebih dalam ruang umum yang didengar semua orang, namun pernahkah kita bertanya, bukankah sebernarnya kita memang hanya "golek badokan".


Bukankah jika tidak ada"badokan'' maka kita enggan untuk menghadiri acara demikian. Sama halnya sholat berjamaah dimasjid, bukankah banyak masjid atau mushola kosong. Saya yakin seribu kali yakin apabila setiap sholat berjamaah ada"badokan" pasti masjid akan ramai dengan jamaahnya. Bahkan jamaah shalat fardu seramai shalat jum'ah.


Lalu apakah memang benar jika sebenarnya kita hanya mencari "badokan"?


Saya pernah mendengar kisah dari lain kawan, ada acara serupa yang dilaksanakan pada malam jumat. Dalam tutur kisahnya ada seorang yang mempunyai kelas ekonomi di bawah rata-rata, ia beberapa kali tidak mengikuti acara itu, kemudian ada seseorang yang mengetahui bahwasannya ia tidak mengikuti karena malu suatu saat nanti jika ia menjadi tuan rumah tidak mampu menyuguhkan apa-apa untuk hadirin.


Maka atas mufakad bersama, sejak itu, setiap tuan rumah tak harus menghidangkan apa-apa kecuali hanya teh manis saja, ini demi menjaga perasan tuan rumah yang tak mesti punya rezeki berlebih.


Jadi benarkah kita iklas dalam beribadah? atau, kita hanya mengharapkan "badokan" saja? Hanya kita sendiri yang mampu menjawabnya.


#usmansan99

#honja



Tidak ada komentar: